Malang (20/12) - Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) telah diputus inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi. Maksimal 2 tahun sejak putusan tersebut dibuat, UU Ciptekr harus diperbaiki, jika tidak keberlakuannya dikembalikan kepada norma dalam Undang-Undang asalnya. Sebagaimana diketahui, UU Ciptaker memuat belasan klaster dan puluhan Undang-Undang. UU Ciptaker merupakan regulasi yang disusun dengan metode omnibus law, metode yang belum cukup lazim digunakan di Indonesia.
Sengkarut dan problematika tersebut menjadi topik diskusi hangat di kalangan akademisi. Masyarakat juga turut bertanya-tanya melihat implikasi dari putusan MK yang menyatakan UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat. Dinamika ketatanegaraan yang demikian, ditangkap oleh Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (FH UMM) sebagai momen tepat untuk mengadakan serial diskusi publik.
Mengusung tema "Implikasi Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi, Masihkah Sakti?", berlangsung diskusi publik melalui ruang virtual zoom pada hari Sabtu (18/12) lalu. Hadir sebagai pemateri, Himas El Hakim, SH., salah satu kuasa hukum pemohon judicial review UU Ciptaker dan Sumali, SH., M.Hum, akademisi FH UMM, advokat dan juga merupakan purnatugas Hakim Tipikor di PN Denpasar.
Agenda diskusi yang dimoderatori oleh Sholahuddin Al-Fatih, SH., MH., tersebut, dihadiri oleh kurang lebih 500 peserta yang terdiri dari unsur mahasiswa, dosen, juga praktisi dari beragam perguruan tinggi dan daerah di Indonesia. Dalam pemaparannya, para pembicara menyampaikan akan pentingnya putusan MK tersebut dalam upaya reformasi hukum di Indonesia.
"Ibarat produk, gadget mislanya, kalo tidak lolos melalui bagian Qc atau Quality Control, pasti dikembalikan, tidak jadi dijual ke pasaran. Nah UU Ciptaker ini kondisinya hampir sama dengan analogi gadget tadi." Sehingga putusan MK dalam konteks ini cukup menggembirakan. Walau mesti tetap harus dikawal dan diberikan catatan." Ungkap Himas El Hakim, yang juga akrab dipanggil dengan Cak Hakim.
Advokat yang kini menempuh studi magister di Universitas Indonesia tersebut menambahkan, banyak hal dalam UU Ciptaker yang perlu diperbaiki, mulai dari metode omnibu law yang tidak diatur dalam UU PPP, beragam versi jumlah halaman hingga materi muatan yang tidak sesuai. Dalam kesempatan berikutnya, Sumali, SH., M.Hum juga bercerita tentang pendapat salah seorang akademisi yang mensinyalir adanya praktik pembuatan regulasi berdasarkan kehendak penguasa saja, bukan pada fungsi dan manfaatnya.
"Ada praktik demikian, sehingga asal pemerintah suka maka dibuatlah aturan itu. Maka seharusnya MK bisa menjadi The True Guardian of Constitution. Hakim ini kan seperti perwakilan Tuhan di bumi, bisa merubah nasib orang bahkan masyarakat secara lebih luas." Pungkas Sumali.
Agenda diskusi publik berakhir menjelang dhuhur. Pada sesi tanya jawab, dua orang penanya ikut memberikan masukan dan saran membangun terkait upaya penguatan putusan MK dan lebih penting lagi dalam kaitannya dengan emmperkuat akar pembentukan peraturna perundang-undangan. Harapannya, di kemudian hari, tidka terjadi lagi kasus regulasi yang dibuat tidak sesuai dengan kaidah, keluar dari materi muatan dan fungsinya serta lebih penting, bisa benar-benar memberikan manfaat bagi bangsa dna negara. (saf)