Malang (30/7) - KUHP atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang saat ini digunakan baik oleh akademisi maupun praktisi hukum di Indonesia, secara faktual merupakan peninggalan Belanda di zaman kolonial dahulu. Seiring dengan berjalannya waktu, KUHP kemudian dirasa kurang begitu menjawab kebutuhan hukum yang ada. Oleh karenanya, digulirkan program RUU KUHP.
Sayangnya, RUU KUHP tersebut mengandung beberapa pasal karet. Pembahasan RUU KUHP hampir setiap tahun mengalami deadlock. Buntut dari alotnya pembahasan RUU KUHP tersebut, banyak kasus pidana yang tidak bisa diputus dengan mengedepankan asas keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Fenomena tersebut ditangkap oleh Prodi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam UMM untuk mengadakan diskusi dalam ruang virtual.
"Sejatinya, warisan Belanda dalam KUHP ini perlu diperbarui. Ada beberapa pasal karet yang rawan dimaknai beragam, baik oleh penegak hukum maupun masyarakat umum. Misalnya tentang hukuman mati. dalam Hukum Islam misalnya, qishas lebih manusiawi dengan melihat kerelaan keluarga korban. Jika keluarga korban memaafkan, maka hukuman mati bisa diganti diyat atau denda. Sedangkan di RUU KUHP kita kan tidak begitu. Semoga kita bisa lebih komprehensif dalam berhukum, termasuk dalam melihat sebab-akibat nya." Ungkap Kukuh Dwi Kurniawan, M.Hi, dosen FH UMM yang menjadi pembicara dalam agenda webinar tersebut.
Kukuh menambahkan, seyogyanya RUU KUHP juga mengakomodasi nilia-nilai dalam hukum Islam, yang notabene Islam menjadi agama mayoritas di Indonesia, sehingga kebutuhan berhukum Islam juga cukup tinggi. (saf/hum)