Malang (26/5) - Undang-undang Cipta Kerja (selanjutnya disebut UU Ciptaker), banyak menimbulkan pro dan kontra, salah satunya terkait pengaturan keputusan fiktif positif. UU Ciptaker mengatur fiktif positif dengan tambahan pengguanaan sistem elektronik atau artificial intelligence (AI) dengan jangka waktu 5 (lima) hari kerja. Hal ini berbeda dengan pengaturan tentang fiktif positif dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan (UUAP) yang tidak menggunakan sistem elektronik dengan durasi 10 (sepuluh) hari kerja.
Perbedaan regulasi tentang fiktif positif tersebut, menjadi topik utama yang diangkat oleh Sholahuddin Al-Fatih, SH., MH., dosen FH UMM. Bersama Zaka Firma Aditya, SH., MH., peneliti ahli dari Mahkamah Konstitusi RI, gagasan mengenai redesain fiktif positif pasca putusan inkonstitusional bersyarat UU Ciptaker, mengantarkan keduanya ke Konferensi Nasional Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (KNHTN-HAN) 2022 di Bali, 19-21 Mei lalu, yang diselenggarakan oleh APHTN-HAN bekerjasama dengan MPR RI.
Bertempat di Hotel Aryaduta, Kuta, Bali, agenda KNHTN 2022 menghadirkan para akdemisi, praktisi dan pakar HTN serta HAN dari seluruh Indonesia melalui seleksi paper yang sangat ketat. Berdasarkan keterangan panitia, dari 250 paper yang masuk, panitia hanya bisa memilih 75 paper terbaik untuk dihadirkan ke KNHTN 2022, dalam 3 panel HTN dan 2 panel HAN, salah satunya paper yang ditulis oleh Fatih dan Zaka yang masuk dalam panel HAN 1, tentang kewenangan PTUN. Selain dibagi dalam beberapa panel diskusi, KNHTN 2022 juga menggelar sesi seminar nasional dengan menghadirkan para pakar, seperti Ketua MK, Hakim MK, serta para Guru Besar dari beberapa institusi.
Selain sebagai ajang saling bertukar ide dan gagasan, KNHTN yang rutin diselenggarakan setiap tahun, dijadikan juga sebagai momen silaturahmi dan menambah jejaring antara akademisi dan praktisi. Kehadiran perwakilan dari UMM sekaligus menjadikan penanda bahwa UMM turut berkontribusi dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara (saf/hum).