Malang (30/8) - Anak, dalam optik hukum memiliki definisi yang beragam, baik dari segi usia hingga unsur-unsurnya. Di Indonesia, beda regulasi, beda pula definisi anak itu sendiri. Melihat fenomena banyaknya kasusu hukum yang menjadikan anak sebagai subyek dan obyeknya, Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak (LP3A) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) bersama Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), langsungkan diskusi penting terkait edukasi hukum untuk anak.
Hal itu tak lepas dari upaya pencegahan dan edukasi agar anak-anak tidak terjerumus dan melakukan pelanggaran hukum maupun menjadi korban. Agenda yang dilaksanakan ini, bertempat di Aula BAU UMM, diikuti oleh ratusan peserta dari masyarakat umum, lembaga otonom Muhammadiyah, Nasyiatul Aisyiyah, dan sivitas akademika umum lainnya.
Dosen dari UKM Nurul Hidayat AB. Rahman, Ph.D. menjadi pemateri pertama. Ia menjelaskan terkait pendidikan undang- undang untuk anak-anak demi mencapai prinsip kelestarian. Termasuk tentang kondisi dan kebijakan hukum pidana anak-anak di Malaysia. Dalam penjelasannya, kasus kejahatan yang melibatkan anak-anak bukan hal baru di Malaysia, terutama mereka yang berusia 10-12 tahun. Ada yang terjadi di aspek kekerasan fisik, kekerasan seksual, hingga pemerkosaan.
“Hukuman atau sanksinya sesuai kebijakan kerajaan, bahkan bisa sampai hukuman seumur hidup. Adapun saat ini, anak-anak di Malaysia diperkenankan mendapat edukasi mengenao UU dan hukum. Anak-anak mempunyai hak untuk mengetahui UU dan mendapatkan ilmu tentang hukum. Hal ini agar mereka dapat mengetahui apa saja yang tidak boleh dan boleh dilakukan,” terangnya.
Di sisi lain, Dosen Hukum UMM, yang juga merupakan Wakil Dekan 2 FH UMM, Ratri Novita Erdianti, SH., M.H. menjelaskan mengenai perlindungan hukum terhadap anak di Indonesia. Menurutnya, kondisi hukum antara Malaysia dan Indonesia jauh berbeda. Misalnya saja di Indonesia, anak bisa dikenakan hukum pidana pada usia 14-18 tahun. Ia juga menyoroti mengenai sanksi atau hukuman pidana anak di Indonesia lebih ringan, setengah dari hukuman orang dewasa.
Di Indonesia, terdapat beberapa UU sebagai payung hukum perlindungan anak. Diantaranya, UU Nomor 17 tahun 2016, UU Nomor 35 tahun 2014, hingga UU Nomor 4 Tahun 2024. Namun pada realitanya, masih banyak kasus pidana yang melibatkan anak pada 2023 lalu. Ia juga menyoroti kasus 5,5 juta anak menjadi korban pornografi dari hasil negatif bermain gadget. Didukung dengan fakotr-faktor lainnya seperti ekonomi, pergaulan, lingkungan, dan keluarga.
"Untuk itu, para orangtua, lingkungan, dan guru harus bisa bersinergi. Ini menjadi upaya kita untuk mencegah hal-hal negatif dan kejahatan,” tegasnya.
Pada kesempatan yang sama, hadir Rektor UMM Prof. Dr. Nazaruddin Malik, M.Si. Ia menggarisbawahi pentingnya peran keluarga dan pendidikan. Bagaimana keduanya bisa menjadi senjata dalam menghadapi peradaban yang semakin modern. Di waktu yang sama, Muhammadiyah hadir dan berupaya menciptakan sekolah unggul sekaligus inklusif agar bisa memberikan manfaat bagi masyarakat. (Din/Zaf/Wil/saf)