Malang (7/2) - Fakultas Hukum UMM kembali menambah 3 Guru Besar, mereka adalah Prof. Dr. Sidik Sunaryo, SH., M.Si., M.Hum., Prof. Dr. Tongat, SH., M.Hum. dan Prof. Dr. Fifik Wiryani, SH., M.Hum. Ketiganya dikukuhkan hari ini (7/2) di UMM Dome, dengan fokus penelitian yang hampir sama, yaitu menyoal isu keadilan.
Orasi pertama disampaikan oleh Prof. Dr. Fifik Wiryani, SH., M.Hum. Dalam paparannya, Fifik yang mengkaji di bidang hukum agraria, berfokus pada keadilan soal tanah, terkhusus mengenai Hak Menguasai Negara (HMN). Menurut Fifik, meski Indonesia telah melewati transisi politik dari rezim otoritarian ke pemerintahan yang relatif demokratis, namun Indonesia masih mempertahankan konsep HMN yang diartikulasikan secara hegemonik oleh negara. Misalnya dalam sektor perkebunan, masyarakat hukum adat terpinggirkan karena harus mendapat rekognisi terlebih dahulu dari negara.
Selanjutnya, dalam orasi ilmiah berikutnya, Prof. Dr. Tongat, SH., M.Hum., membahas terkait pidana kerja sosial, urgensi, dan kontribusinya dalam hukum pidana Indonesia di masa mendatang. Menurutnya, ada berbagai keunggulan pidana kerja sosial ketimbang pidana perampasan kemerdekaan. Pertama, dapat menghindarkan pelaku dari dampak negatif akibat penempatan pelaku dalam lembaga, seperti stigmatisasi, interaksi negatif dengan narapidana lain, hingga dehumanisasi.
“Kedua, pidana sosial bisa mengurangi populasi penghuni lembaga koreksi. Ketiga, kerja sosial juga akan menekan biaya hidup narapidana di dalam lembaga secara signifikan dan meringankan beban masyarakat sebagai pembayar pajak,” tambahnya.
Menurut Dekan FH UMM tersebut, kelebihan yang keempat adalah memberikan manfaat yang menguntungkan bagi masyarakat berkat mobilisasi terpidana kerja sosial. Terakhir, pidana kerja sosial juga akan meringankan sekaligus membantu ekonomi keluarga. Terpidana kerja sosial tetap dapat menjalankan pekerjaannya, sehingga tetap bisa menjalankan fungsinya sebagai tulang punggung keluarga.
Terakhir, orasi ilmiah disampaikan oleh Prof. Dr. Sidik Sunaryo, SH., M.Si., M.Hum. yang mengambil tema tentang keadilan eklektik. Menurutnya, proses peradilan seringkali menjadi ajang kontestasi memperebutkan umlah, bukan proses untuk mengerucutkan nilai hikmah. Sementara, keadilan eklektik mengutamakan nilai hikmah di atas nilai jumlah.
“Nilai hikmah itu mengandung makna ajaran, sedangkan nilai jumlah hanya sekadar menjelaskan ujaran,” kata Sidik, yang juga merupakan Wakil Rektor IV UMM.
Saat ini, hilirisasi proses peradilan ditujukan untuk memperbanyak jumlah putusan, bukan untuk membangun nilai hikmah. Proses pemidanaan ditandai dengan jumlah bilangan yang bersifat penderitaan dan jumlah denda material yang bersifat kerugian. Sebaliknya, konsep keadilan eklektik memandang prinsip pemidanaan sebagai elaborasi nilai-nilai hikmah untuk memulihkan dan mengembalikan manusia seutuhnya, utamanaya pada nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat kesemestaan.
Melalui tambahan 3 Guru Besar baru tersebut, FH UMM berharap bisa meningkatkan kualitas dan mutu catur dharmanya, yaitu di bidang pendidikan pengajaran, penelitian, pengabdian kepada masyarakat dan Al-Islam Kemuhammadiyahan. (wil/saf)