Malang (3/4) - Amandemen terhadap konstitusi menjadi isu hukum yang akhir-akhir ramai diperbincangkan. Salah satu substansi amandemen yang menjadi topik hangat di kalangan masyarakat, adalah terkait masa jabatan Presiden.
Fenomenatersebut menjadi topik yang diangkat oleh Center for Strategic and Indonesian Public Policy (CSIPP) bersama Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (FH UMM). CISPP dan FH UMM menggelar kuliah umum virtual (3/4) dengan tema Amandemen UUD NRI 1945; Mengukuhkan Demokrasi atau Oligarki.
Bertempat di ruang virtual Zoom, agenda kuliah umum tersebut dihadiri oleh para pakar dan praktisi di bidangnya, seperti; Ace Hasan Syadzily (Politisi Golkar), Mardani Ali Sera (Politisi PKS), Ahmad Basarah (Politisi PDI-P), Salamuddin Daeng (Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia) dan Sholahuddin Al-Fatih (Akademisi FH UMM).
Dalam pemaparannya, para narasumber sepakat menyampaikan bahwa amandemen terhadap UUD NRI 1945 secara substansial tidak akan membahas isu tentang masa jabatan Presiden. Penguatan kelembagaan pemerintah lebih menjadi topik substantif apabila UUD NRI 1945 dilakukan perubahan atau amandemen.
"PDIP secara tegas menolak dan tidak akan merubah substansi dalam Pasal 7 UUD NRI 1945." Ungkap Ahmad Basarah.
Hal senada juga diikuti oleh narasumber yang lain. Sebab substansi dalam Pasal 7 yang berisi masa jabatan Presiden sebanyak 2 periode, dirasa sudah cukup baik dan tidak perlu dirubah. Sholahuddin Al-Fatih, dosen HTN FH UMM menambahkan, bahwa penambahan masa jabatan Presiden berpotensi melahirkan otoritarianisme dan membuka luka sejarah era orde lama dan orde baru.
"Tidak boleh. Cukup dua kali periode saja. Bahkan jika perlu, masa jabatan anggota legislatif juga harus dibatasi. Agar tidak terjadi abuse of power."Sambung Sholahuddin.
Agenda kuliah umum tersebut berakhir sekira pukul 12.00 WIB. Peserta kuliah umu tidak hanya mahasiswa FH UMM, namun juga para akademisi, praktisi juga jurnalis dari beberapa wilayah di Indonesia. (saf/hum)